Jumat, 22 Januari 2016

PENGARUH SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRI TERHADAP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA



MAKALAH
PENGARUH SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRI TERHADAP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA


Nama        : Ali Rachmad
Kelas         : B
NPM         : 12132278
Fakultas   : Ekonomi Manajemen


UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA


Nama        : Ali Rachmad
Kelas         : B
NPM         : 12132278
Fakultas   : Ekonomi Manajemen


UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA


KATA PENGANTAR



            Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunian-Nya sehingga Makalah Usaha ini dapat terselesaikan.

            Penyusunan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Hukum Perburuhan Universitas Wijaya Putra Surabaya

            Saya menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan, dan semoga Makalah saya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.













Surabaya, 08 Juni 2015






DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR   ……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI   …………………………………………………………………………….. ii

BAB I
Latar Belakang   …………………………………………………………………………….. 1

BAB II
Pengaruh Sengketa Hubungan Industrial Terhadap Pembangunan
Perekonomian Di Indonesia ……………………………………………..…………………. 3

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA













BAB I

Latar Belakang

Dalam era industralisasi di atas kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi, perselisihan hubungan industrial menjadi semakin kompleks, untuk penyelesaiannya diperlukan institusi yang medukung mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah. Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan perkermbangan keadaan dan kebutuhan tersebut di atas.

Perselisihan hubungan industrial umumnya terjadi karena terdapat ketidaksepahaman dan perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dan pekerja. Kendatipun demikian, akhir-akhir ini statistik tenaga kerja menunjukan adanya penurunan jumlah kasus perselisihan, sekalipun jumlah tenaga kerja semakin banyak. Dari data yang ditunjukan, jumlah kasus PHK pada tahun 2006 sebanyak 5.110 kasus menjadi 63 kasus pada Agustus 2007. Jumlah pekerja yang ter-PHK pada tahun 2006 sebesar 37.937 orang turun menjadi 22.120 orang pada Agustus 2007. Namun ada kenaikan rata-rata jumlah PHK per kasus, dari 7 orang per kasus pada tahun 2006 menjadi 351 orang per kasus di tahun 2007.

Dalam rangka memenuhi tuntutan Gerakan Reformasi (yang berhembus sejak 1997) untuk melakukan perubahan di bidang hukum, pemerintah bersama parlemen lantas melakukan pembaharuan hukum ketenagakerjaan dengan diundangkannya Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terkait dengan penyelesaian sengketa hubungan industrial, Undang-undang Ketenagakerjaan dapat dipandang sebagai sebuah hukum materil. Untuk dapat melaksanakan materi-materi hukum yang diatur di dalamnya, diperlukanlah hukum formil untuk menjalankannya, yaitu Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.


Pembentukan undang-undang ini sesuai dengan apa yang diamanatkan di dalam pasal 136 ayat 2 Undang-undang Ketenagakerjaan: “Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrian yang diatur dengan undang-undang.”

Makalah ini merupakan suatu kajian hukum yang bersifat deskriptif mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Untuk itu, penulis berpatok pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang persoalan dimaksud, secara khusus Undang-undang No. 3 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
























BAB II
PENGARUH SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRI TERHADAP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA

UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Bab 2 Asas, Sifat, dan Tujuan, Pasal 4 ayat (2) huruf b dan c: SP/SB, Federasi, dan Konfederasi mempunyai fungsi sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hubungan Industrial Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2000 Paragraf 2. Dalam menggunakan hak tersebut, pekerja/buruh dituntut bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, penggunaan hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.” Hubungan Industrial UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Paragraf 2 Definisi Hubungan Industrial “Hubungan Industrial sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Hubungan Industrial Penjelasan Umum UU No. 13 Tahun 2003, Paragraf 4 “pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.”
SARANA UTAMA PELAKSANAAN HI
Fungsi Tripartit dalam Pelaksanaan Hubungan Industrial (Pasal 102 Ayat (1), (2), (3) UU No. 13/2003) Pemerintah menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang undangan ketenagakerjaan. P/B dan SP/SB menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya seta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta kelauarganya. Pengusaha dan organisasi pengusahanya menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan P/B secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Praktek Hubungan Industrial Lebih ditekankan pada tingkat perusahaan / tingkat industri. Oleh karena itu sarana terpenting Serikat Pekerja / Serikat Buruh di tingkat perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial Hubungan Industrial & Pengaturan Hak & Kewajiban Kepentingan Dalam hubungan industrial :
Common interest adalah pertumbuhan usaha yang berkesinambungan. Kedua pihak ingin pertumbuhan diteruskan dan ditingkatkan sehingga merupakan sumber kesejahteraan bersama.
Conflicting interest adalah pembagian hasil usaha yang adil dan memadai dari masing-masing pihak Pekerja, syarat-syarat kerja dan jaminan sosial yang lebih baik. Management pertumbuhan yang lebih besar dan investasi.
Kepentingan Dalam Hubungan Industrial di Tempat Kerja
Kepentingan Pengusaha:
• Pertumbuhan usaha yang berkesinambungan dalam persaingan global
• Kemampuan membayar upah
• Ketenangan usaha. Kepentingan Pekerja / Serikat Pekerja
• Kelangsungan pekerjaan
• Upah dan jaminan sosial, termasuk untuk keluarganya
• Kelayakan dan keadilan dalam pekerjaan dan pengupahan.
Hubungan Antara Kesejahteraan P/B Dengan Kelangsungan Usaha P/K Rendah
U/K Tinggi = Charity P/K Rendah
U/K Rendah = Harakiri P/K Tinggi
U/K Rendah = Eksploitasi P/K Tinggi
U/K Tinggi = Prosperity / Kemakmuran Bersama

P/K = Produktivitas / Kinerja
U/K = Upah / Kesejahteraan
Hubungan Industrial Dalam Praktek Itikad dan niat baik dunia usaha tercermin dalam PK, PP, dan PKB yang biasanya memuat dasar-dasar/asas-asas hubungan kerja. Adanya kepastian hokum, Saling percaya dan konsistensi, Tidak menyalah-gunakan wewenang, Keadilan dan pengharapan yang wajar, Kebijaksanaan dan kepatutan, Keseimbangan, Persamaan hak, Itikad baik, Keterbukaan yang wajar & bertanggung jawab. Situasi, Suasana dan Kondisi Yang Dikehendaki Antara P/B, SP/SB dan Perusahaan secara bersama melaksanakan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya dalam suasana saling menghormati, saling mempercayai dan saling bekerja sama.
Adanya kepastian hak dan kewajiban serta tercapainya pemenuhan secara timbal balik yang akan menjamin kelangsungan hidup Perusahaan dan kesejahteraan P/B. Saling mempercayai sebagai landasan bagi penyelesaian setiap masalah yang berpotensi menjadi perselisihan hubungan industrial melalui dialog untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Tujuan Pengaturan Hubungan Industrial Tujuan Antara :
- Ketenangan Kerja
- Produktivitas Tujuan Akhir
- Kesejahteraan Ketenangaan Kerja
Kondisi dinamis dalam hubungan kerja yang mengandung unsure. Hak & Kewajiban terlaksana Perselisihan dapat diselesaikan secara internal Mogok & lock-out tidak digunakan untuk memaksakan kehendak. Pengaruh Konflik Hubungan Industrial Bagi Iklim Usaha Kepercayaan (trust) merupakan sebuah ‘modal sosial’ (social capital) yang memungkinkan kegiatan sosial-ekonomi berjalan dengan baik. Jika interaksi antara individu atau kelompok dalam suatu masyarakat diwarnai oleh konflik atau potensi konflik maka masyarakat tersebut dikatakan kekurangan modal sosial.



Salah satu contoh konflik atau potensi konflik yang sering terjadi dalam proses produksi dan jasa adalah yang dikenal dengan perselisihan hubungan industrial, baik secara individu pekerja maupun kelompok pekerja dengan perusahaan. Pengaruh Konflik Hubungan Industrial Bagi Iklim Usaha Wujudnya dalam bentuk demontrasi dan pemogokan, yang seringkali diwarnai dengan tindakan anarkis dan pelanggaran hukum, seperti : pengerusakan asset perusahaan Pemblokiran Penyanderaan dll.
Dampaknya terhadap iklim usaha adalah risiko yang makin tinggi. Efeknya adalah biaya yang makin meningkat, misalnya : biaya untuk membayar petugas keamanan, Asuransi pesangon dll. Jika risiko usaha terlalu tinggi, maka pelaku usaha akan menghentikan kegiatan usaha. Perubahan Paradigma Hubungan Industrial Pada pertengahan tahun 1998 di Indonesia telah berhembus era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru yang membawa perubahan sangat cepat dan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Perubahan di bidang ketenagakerjaan ditandai dengan antara lain : Berubahnya mono trade union (Serikat Pekerja Tunggal – F SPSI) menjadi multi trade union (saat ini telah 84 Serikat Pekerja / Serikat Buruh terdaftar di Depnaker, dan beroperasi di Indonesia) berdasarkan UU No. 21/2000. Ratifikasi 8 Konvensi ILO dasar (International Labour Organisation – Core Convention) oleh pemerintah Indonesia, terdiri atas 4 kelompok : Kebebasan Berserikat (KILO 87 dan 98) Diskriminasi (KILO 100 dan 111) Kerja Paksa (KILO 29 dan 105) Perlindungan Pekerja Anak (KILO 138 dan 182)
Perubahan Paradigma Hubungan Industrial Perombakan hukum ketenagakerjaan Indonesia melalui UU No. 25 tahun 1997 yang ditunda masa berlakunya selama 4 tahun dengan UU No. 11 tahun 1998 dan perpanjangannya dengan Perpu No. 3 tahun 2000.
Pada akhir tahun 2002 DPR RI menyetujui UU Pencabutan UU 25/1997 dan digulirkannya 2 RUU pengganti, yang sekarang telah disahkan menjadi UU yaitu : UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004. Perubahan Paradigma Hubungan Industrial Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dianut dalam UU PPHI, tidak lagi menggunakan model pemerantaraan P4 Daerah dan P4 Pusat, melainkan model PENGADILAN Hubungan Industrial di tingkat Pengadilan Negeri dan langsung ke Mahkamah Agung. Dimana hakim hakimnya terdiri seorang hakim karir dan dua orang hakim ad-hoc yang berasal dari unsure Serikat Pekerja / Serikat Buruh dan Pengusaha.
Pengadilan Hubungan Industrial Merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum. Berwenang memeriksa dan mengadili, di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam 1 perusahaan. Hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata dan yang diatur secara khusus di UU No. 2 Tahun 2004. Majelis terdiri dari 1 orang hakim dan 2 orang hakim ad hoc yang berasal dari unsur pengusaha dan pekerja/buruh. Organisasi pengusaha dan pekerja/buruh dapat beracara di PHI.
Permasalahan yang Berkembang dan Perlu Dicarikan Solusinya Lahirnya banyak organisasi pekerja/buruh dan antisipasi terhadap kemungkinan lahirnya beberapa organisasi pengusaha. Penentuan wakil-wakil mereka dalam lembaga-lembaga tripartit. Saat ini telah diatur dalam Kepmenakertrans No. 201/Men/2001 tentan. Keterwakilan dalam Lembaga Tripartit. Keberadaan unsur-unsur yang mewakili mereka masih dalam kondisi status quo.
Permasalahan yang Berkembang dan Perlu Dicarikan Solusinya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Konvensi No. 98 dan Konvensi No. 87 yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. UU No. 13/2003 Permasalahan dalam hal menetapkan SP / SB mana yang dapat mewakili dan berhak untuk berunding dengan pihak pengusaha dalam menyusun PKB, apabila di satu perusahaan ternyata terdapat lebih dari satu SP /SB, atau sebagian kecil saja dari pekerja yang menjadi anggota dsb. Persiapan hakim-hakim Ad-Hoc yang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan oleh UU No. 2/2004 tentang PPHI dari masing-masing unsur.








BAB III
PENUTUP & KESIMPULAN

Sekarang tibalah zamannya untuk saling mendukung antara pekerja/buruh Pengusaha
seluruh serikat pekerja/serikat buruh dalam menge-REM keterpurukan dan upaya membangkitkan kembali perekonomian di tanah air. Prinsip partnership yang dilandasi : Kejujuran, Ketulusan, Kesungguhan, Keteguhan, dan Komitmen bersama pasti akan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja, pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Permasalahan-permasalahan yang ada di tingkat perusahaan hendaknya selalu dirundingkan bersama dengan musyawarah antara pekerja/buruh dan pengusaha di tingkat plant level. Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) senantiasa menjadi pusat komitmen antara pekerja dan pengusaha dalam mengelola perusahaan.
Untuk tingkat plant level mengupayakan pembentukan dan penguatan sistem BIPARTIT, model mekanisme komunikasi dua arah antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam wujud lembaga bipartit. kegiatan bipartit ini harus berjalan seimbang, terbuka dan selalu menghindari adanya kemungkinan campur tangan pihak ketiga dari luar perusahaan ini telah bergulir arus reformasi disegala bidang, dimana masalah ketenagakerjaan, khususnya hubungan industial juga dituntut untuk dibenahi menurut garis-garis yang benar secara hukum nasional, hukum internasional maupun budaya bangsa.
Hanya dengan “aturan main” yang benar dan jelas maka para pelaku hubungan industrial akan mampu berperan secara optimal dalam melaksanakan prinsip-prinsip Hukum Ketenagakerjaan. Khususnya kepastian hukum, ini merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan bagi para investor/calon investor.





Sarana-sarana pelaksanaan HI telah merupakan bagian dari sistem hubungan industrial yang telah baku dan diakui oleh masyarakat industri sebagai hal yang sesuai dengan falsafah Indonesia. Khususnya mekanisme BIPARTIT dan kelembagaan BIPARTIT di tingkat perusahaan. Dengan demikian diharapkan akan melahirkan persamaan persepsi bagi para pihak yang terkait khususnya kalangan para pekerja dan pengusaha, sehingga dapat ikut meminimalkan gejolak akibat adanya konflik perselisihan hubungan industrial yang tidak diinginkan.
Kesiapan dan kematangan para pimpinan serikat pekerja/serikat buruh dalam mengelola konflik dalam upaya membangun dan mengatur organisasi pekerja /buruh yang modern dan dinamis, sehingga keberadaannya dapat dirasakan bermanfaat bagi pekerja/buruh khususnya, pengusaha dan masyarakat Indonesia pada umumnya.















DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar