Jumat, 22 Januari 2016

Makalah Pendapat Tentang BLSM



MAKALAH
“Pendapat Tentang BLSM”


Nama Kelompok :
1.    Yulianto
2.    Budianto
3.    Adi
4.    Ali

UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2012/2013






Latar Belakang
Sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, maka pemerintah mengadakan 2 bantuan untuk rakyat Indonesia, yaitu Bantuan Langsung Sementara Masyarakat dan Bantuan Siswa Miskin. Pemerintah Indonesia meyakini tindakan ini adalah penting untuk menyelamatkan fiskal negara, meskipun pemerintah juga meyakini bahwa ini adalah keputusan yang sulit bagi pemerintah. Dalam rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR), telah disepakati total dana ganti rugi kenaikan BBM bersubsidi sebesar 27,9 triliun rupiah. Walaupun begitu, BLSM sering disebut masyarakat sebagai kelanjutan dari Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Kelanjutan dari Bantuan Langsung Tunai

Data BLSM yang tidak tepat sasaran dan tidak valid membuat BLSM seperti merupakan kelanjutan dari BLT.

Cara mendapatkan bantuan
Cara untuk mendapatkan bantuan ini adalah sebagai berikut:
1.      Terdaftar di Badan Pusat Statistik sebagai orang yang tidak mampu.
2.      Setelah terdaftar, Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dibagikan melalui Pos Indonesia.
3.      Bila telah menerima KPS, maka pada tanggal 1 Juli 2013 anda pergi ke Kantor pos yang ditunjuk.
4.      Kemudian, anda mengantre untuk selanjutnya mendapatkan kartu antrean. Bawalah Kartu Perlindungan Sosial sebagai buktinya.
5.      Seusai mendapatkan kartu antrian, masyarakat menunggu kembali untuk dilakukan verifikasi.
6.      Setelah lolos verifikasi untuk KPS, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu normatif, masyarakat baru berhak menerima Bantuan BLSM yang diberikan pemerintah sebesar Rp. 300.000.










Permasalahan

Yang Menerima Bantuan

Dalam pelaksanaannya, eksekusi daripada BLSM ini menghadapi banyak masalah. Contoh masalahnya adalah banyak warga miskin yang tidak mendapatkan bantuan tunai. Beberapa warga yang seharusnya tidak mendapatkan bantuan ini, seperti orang yang telah meninggal. Beberapa kalangan juga menilai BLSM ini tidak tepat, dan juga tidak merata. Gubernur Jakarta Joko Widodo, juga menyatakan bahwa bantuan langsung sementara masyarakat ini tidak merata, dan akan juga melakukan bantuan tunai untuk membantu rakyat miskin.
Berikut adalah kasus-kasus di mana bantuan BLSM salah sasaran:
·         Pada 25 Juni 2013, di Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, BanyumasJawa Tengah, Warkem, yang berusia 65 tahun, malah tidak menerima BLSM, padahal ia adalah janda yang hidup sebatang kara pada rumah yang berukuran 4 x 5 meter.
·         Pada 25 Juni 2013, di MakassarSulawesi Selatan, sejumlah ibu-ibu yang menggunakan kalung, gelang, dan giwang emas malah menerima bantuan BLSM. Tujuan ibu-ibu tersebut menerima bantuan BLSM bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, namun digunakan untuk bermewah-mewahan.
·         Pada 2 Juli 2013, di BandungJawa Barat, Ayu, yang berusia 26 tahun, menerima bantuan BLSM, padahal ia sudah termasuk kategori orang yang sudah mampu. Hal ini dapat dilihat dari kalung, cincin, dan anting-anting yang membaluti tubuh Ayu. Sementara itu, Atikah, menerima BLSM dengan tujuan membayar utang yang ditagihkan rentenir yang dibebankan padanya.

Data yang Tidak Valid

Salah satu dari penyebab tidak sampainya bantuan yang tepat sasaran adalah data yang tidak valid. Menurut Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), penggunaan data dari Badan Pusat Statistik yang bertahun 2011 disebabkan karena pemutakhiran dan survei membutuhkan waktu dan biaya mahal. Selain itu pula, penggunaan data yang tidak valid membuat BLSM seperti kelanjutan dari BLT











Keluhan, Protes dan Demonstrasi

Lemahnya pengawasan pemerintah akan bantuan BLSM membuat sebagian warga yang berhak menerima bantuan BLSM malah tidak mendapatkan bantuan BLSM. Sementara itu, sebagian warga yang tidak berhak menerima bantuan BLSM malah mendapatkan bantuan BLSM. Oleh karena itu, terjadilah protes dan demonstrasi yang disebabkan oleh bantuan BLSM yang tidak tepat sasaran.

Berikut adalah protes dan demonstrasi yang terjadi karena bantuan BLSM yang tidak tepat sasaran:
·         Pada 25 Juni 2013, di Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, BanyumasJawa Tengah, Kepala Desa Rempoah mengaku banyak mendapat protes dari masyarakat yang menaruh perhatian terhadap Warkem.
·         Pada 2 Juli 2013, di Kabupaten NganjukJawa Timur, sebagian warga merasa keberatan atas jumlah uang bantuan BLSM yang seharusnya mereka terima Rp300.000 malah dipotong sebesar Rp100.000 menjadi Rp200.000. Mbah Parni, yang berusia 67 tahun, mengaku panitia desa memotong dana tersebut dengan alasan akan diberikan kepada warga miskin lain yang tak terdaftar sebagai penerima BLSM. Mbah Parni mengaku berat dengan pemotongan itu. Namun ia terpaksa menyetujuinya, sebab, hal serupa juga dilakukan kepada seluruh warga yang mengantre pencairan dana BLSM di kantor pos setempat.
                          

BLSM Memicu Kecemburuan Sosial Horisontal

Beberapa kalangan masyarakat melakukan protes bahwa telah terjadi ketidak-adilan dalam membagikan bantuan BLSM, karena penerima bantuan tersebut sebenarnya dikategorikan tidaklah tergolong miskin kalau dinilai dari penampilan mereka.  Ada yang saat datang mengambil bantuan BLSM tersebut tidak nampak miskin.  Sementara mereka merasa lebih miskin malah tidak menerima bantuan.
Memang perlu dipertanyakan konsep dari penyelenggaraan bantuan tersebut.  Jika dilihat dari proses pelaksanaannya, apa yang diprogramkan pemerintah tersebut terkesan dilakukan tambal sulam dan mengejar kepentingan praktis jangka pendek.

Sosial Security

Perlindungan sosial bagi masyarakat tidak mampu memang amat penting dan punya nilai strategis dalam mengangkat kemiskinan.  Perlindungan sosial memungkinkan masyarakat miskin untuk memperbaiki dirinya dan keluarganya tanpa dibebani pembiayaan-pembiayaan utama dalam rumah tangga.
Di luar negeri, perlindungan sosial diberikan pada masyarakat kurang mampu yang mencakup dalam bidang utama diantaranya adalah kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua, cacat.  Golongan masyarakat penerima bantuan pemerintah adalah mereka-mereka yang kehilangan pekerjaan (penganggur), dalam usia pensiun, menderita cacat sehingga tidak mungkin mendapatkan penghasilan.  Penderita cacat juga termasuk cacat mental. Meski keadaan fisik seseorang nampak sehat, namun karena masalah psikologis orang tersebut tidak mungkin bisa bekerja, juga mendapat santunan dari pemerintah.  Dana perlindungan sosial tersebut didapat dari pajak yang didapat dari masyarakat terutama yang masih aktif dalam lapangan pekerjaan.
Masalah perlindungan sosial ini makin tahun makin dirasa berat oleh pemerintah. Jumlah angkatan kerja makin menurun, sementara jumlah penerima santunan sosial makin besar. Efek ini makin dirasakan terutama di negara-negara dengan piramida tua pada saat generasi baby boomer mengalami pensiun. Dana yang didapat dari pajak tidak akan lagi mencukupi untuk menutup dana sosial tersebut.
Di Amerika diperkirakan dana yang ada hanya cukup membayar 75% saja dari total dana perlindungan sosial pada tahun 2033 nanti. Pemerintah akan mengalami kesukaran untuk menutup kekurangan 25% jika tidak diantisipasi langkah-langkahnya. Di Amerika pada bulan akhir Juni 2011, tercatat sebanyak 54,8 juta orang penerima dana sosial ini atau 17,56% dari total populasi AS.
Di negara yang mengetrapkan sistem perlindungan sosial, data-data penduduk mereka relatif lengkap.  Setiap orang mempunyai nomer pajak pribadi yang berlaku seumur hidup. Jumlah penghasilan tiap individu akan tercatat dengan baik oleh dinas pajak.  Setiap pekerja baru sebelum memulai lapangan kerjanya diwajibkan untuk mengisi formulir data-data pribadi yang berkaitan dengan pajak.  Tanpa nomer pajak, pembayaran gaji akan tertunda pembayarannya. Dengan pengawasan nomer pajak sejak dini ini, maka penghasilan seseorang terdata dan termonitor dengan baik.
Penerima santunan sosial tersebut amat beragam keadaan keluarganya. Ada yang cuma satu sumber  penghasilan (suami atau isteri saja bekerja). Hidup sendiri. Hidup sendiri tapi merawat orang cacat dan lain-lain keadaan.  Mereka harus datang ke kantor departemen sosial setempat dan diwawancarai. Jadi masing-masing orang akan dinilai kasus, keberadaan ekonomi dan situasinya sehingga menerima santunan sosial dengan jumlah yang tepat.

Pembenahan Sistem

Data-data masyarakat yang berhak menerima bantuan sosial tersebut dipertanyakan banyak kalangan perihal keakuratannya bila dilihat banyaknya keluhan masyarakat yang merasa tergolong miskin tapi tidak menerima bantuan.
Aneh sekali jika data yang dipakai dari sensus tahun 2011, begitu asumsi beberapa kalangan. Jika sumber data yang dipakai tidak akurat, mustahil jika bantuan tersebut bisa tepat sasaran.
Di Indonesia penghasilan tetap seseorang belum bisa dipakai sebagai pedoman.  Darimanakah angka penghasilan tetap tersebut diperoleh jika tidak ada sistem baku yang bisa untuk memonitor?  Masyarakat yang bekerja di sektor informal atau di industri menengah bawah, lebih banyak menerima penghasilan tersebut secara langsung dan tidak ditransfer lewat bank sehingga lolos dari catatan pajak penghasilan. Bila penghasilan tetap semacam ini dijadikan patokan pastilah tidak akan akurat.
Sebagaimana kita ketahui, gaji pokok selalu menunjukkan angka kecil dibanding dengan pendapatan yang didapat dari kerja sampingan.  Misalnya guru dengan usaha sampingan usaha les.  Pekerja toko sambil kerja sampingan jualan pulsa.  Dan kasus-kasus lain. Penerimaan pendapat total tiap bulan cenderung lebih besar dari angka sesungguhnya.
Bahkan seorang yang tidak punya pekerjaan tetap bukan berarti tidak punya penghasilan.  Misalnya sopir tidak tetap, makelar, pembantu rumah tangga, petani, buruh lepas, wiraswasta, industri rumah tangga dan sebagainya.  Bagaimana menentukan secara pasti penghasilan mereka tiap bulan atau tahunnya jika tidak ada mekanisme untuk memonitornya?  Data-data penghasilan mereka diperoleh dengan mengandalkan tenaga kelurahan lebih banyak berdasar pada perkiraan. Pengumpulan data demikian rawan oleh pembiasan dan korupsi.

Jika penghasilan tetap dipakai sebagai ukuran, bagaimana mungkin seorang guru honorer SD dalam sebulannya hanya menerima Rp. 200 ribu bisa mencukupi hidupnya selama sebulan? Atau gaji pegawai negeri golongan 3A yang menerima Rp3 juta sebulan dan hidup di kota besar? Bagaimana mungkin mereka bisa punya rumah, mobil, sepeda motor dan perabotan lain rumah tangganya?
Data-data penghasilan seseorang amat tidak realistis di Indonesia.  Maka sebelum pemerintah bisa dengan baik membenahi sistem, pembagian BLSM tersebut terkesan dipaksakan dan tidak sepenuhnya bisa dipertanggung-jawabkan akuntabilitasnya. Apalagi efektif berfungsi sebagai pelindung sosial atau jaminan sosial atau keamanan sosial atau apapun namanya sebagaimana yang dicanangkan dalam program dalam BLSM itu.
Jika birokrasi tidak dibenahi sistem dan budaya kerjanya, bagaimanapun nampaknya akurasi data masih bisa dipertanyakan keasliannya.
Jika sistem kerja birokrasinya morat-marit dan masih perlu dibenahi, anehlah jika pemerintah mendasarkan datanya dari hasil kerja para birokrat yang mental budaya kerjanya masih dipertanyakan tersebut. Sebuah tata kerja seperti tanpa konsep memadai.

Kecemburuan Sosial Horisontal

Kenapa BLSM baru dicanangkan tahun ini? Kenapa tidak tahun-tahun sebelumnya pada saat resesi ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 lalu?  Meski negara mengalami krisis ekonomi, masyarakat telah menemukan caranya sendiri untuk mengatasi keadaan ekonominya.  Masyarakat tidak merasakan peranan pemerintah dalam membantu masyarakat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi. Tidak ada ketergantungan masyarakat pada pemerintah selama ini.
Pemerintah telah mengasingkan dirinya sendiri dari masyarakat. Masyarakat miskin tetap bisa hidup atau dipaksa untuk bertahan hidup tanpa bantuan langsung pemerintah. Masyarakat miskin telah membuktikan diri mereka sendiri, bahwa mereka bisa hidup dalam krisis ekonomi tanpa peranan langsung dari pemerintah.
Maka urgensi pemberian BLSM saat ini wajarlah jika mendapat pertanyaan besar dari beberapa kalangan.  Jika kenaikan BBM dipakai alasan, kenapa kenaikan harga BBM sebelumnya tidak dilakukan hal sama?  Benarkah masalah sosial ekonomi ini berusaha diselesaikan dengan keputusan politik?
Masyarakat miskin yang telah terbiasa untuk bertahan hidup tanpa bantuan pemerintah, tiba-tiba kini mendapat tunjangan. Fenomena baru ini secara tidak langsung mencuatkan keberadaan kemiskinan mereka. Di sisi lain mereka juga mengamati bahwa apa yang dianggap miskin ternyata relatif. Seorang yang punya mobil dan sepeda motor bisa dianggap miskin oleh pemerintah sehingga perlu menerima BLSM. Kemiskinan yang mereka bayangkan ternyata jauh berbeda.  Ternyata mereka jauh dari sekedar miskin tapi super melarat jika dibanding dengan standard yang ditetapkan pemerintah.
Bagi mereka yang tidak menyadari atau tidak pernah mengeluh bahwa mereka miskin, kini dipaksa untuk menilai kembali keadaan mereka. Orang yang dianggapnya hidup berkecukupan karena punya mobil dan sepeda motor ternyata juga termasuk golongan mereka, yakni golongan miskin. Jika keduanya menerima BLSM mungkin tidak seberapa, tapi banyak juga masyarakat miskin tersebut tidak menerima BLSM yang dibagikan pemerintah dan yang menerima justru orang-orang yang dianggap hidupnya berkecukupan tersebut.
Beberapa orang miskin masih punya harga diri dan pantang untuk mengemis.  Mereka enggan untuk merengek-rengek pada pemerintah tentang jatah BLSM tersebut.  Mereka menerima keadaan mereka dan tetap hidup seperti biasanya dengan mensiasati keadaan sekitarnya karena kenaikan harga.  Mereka sudah terbiasa menghadapi masa-masa sulit demikian. Masyarakat kelas bawah sudah terbiasa hidup mandiri sejak jaman Belanda hingga jaman reformasi kini. Mereka tidak melihat bahwa kemiskinan mereka adalah akibat struktur sosial yang membelenggunya atau tidak becusnya pemerintah mengelola negara. Mereka tidak menyalahkan siapa-siapa. Tanpa banyak protes mereka jalani hidup apa adanya.
Namun banyak pula golongan masyarakat miskin yang tidak bisa menerima begitu saja atas ketidak-adilan yang diterimanya. Mereka inilah yang mendatangi kelurahan untuk protes.  Mereka inilah yang merasakan kecemburuan sosial bersifat horisontal.
Belum lagi jika mereka melihat ada keluarga rame-rame datang ikut mengambil bantuan karena punya posisi tertentu di desa meskipun mereka relatif kaya.  Tidak beda jauh dengan pemandangan saat pembagian daging korban di desa.  Keluarga pengurus yakni anak, isteri, menantu, cucu dan lain-lainnya, datang berduyun-duyun minta bagian.  Sementara masyarakat yang benar-benar berhak malah dinomer-duakan.
Orang miskin selalu berada di pinggiran.  Mereka tidak terjangkau oleh informasi apalagi birokrasi pemerintah yang terkesan arogan.  Masyarakat miskin tersebut hidup dari sisa-sisa hidup orang lain. Mereka mengais rejeki dari ceceran orang lain. Mereka dianggap bakteri dan bisa hidup di manapun dan dalam keadaan apapun. Pemulung, pembersih sampah, abang becak, tukang pijit, buruh tani, pencari puntung rokok, pengemis dan lain-lain, mereka semua itu jauh dari lingkaran jangkauan birokrasi yang sibuk mengurus perutnya sendiri.
Para priyayi dan pangreh praja tidak bakal bisa menyelami dunia kehidupan mereka. Mereka harus blusukan agar tahu lebih dekat keadaan dan masalah kaum miskin pinggiran. Tanpa itu, semua hitungan masih di atas kertas yang gampang ditindih dan di tip x untuk kemudian disesuaikan dengan keinginan pribadinya sebagai pemegang kendali informasi.*** (HBS)

Pendapat Tentang BLSM
Sebenarnya waktu namanya masih BLT dulu ini sudah dibahas, maksud dari Pak SBY mengasih bantuan tunai atau BLSM ini adalah begini, karena harga BBM naik, otomatis harga lain juga ikutan meningkat kan? Nah, supaya mengimbangi harga yang ikutan naik dengan daya beli masyarakat diberikanlah BLSM ini, supaya orang-orang kecil dapat modal untuk jualan gorengan lah, bikin kerajinan lah, jualan baju lah, dan sebagainya.
Niatnya Pak SBY sudah bener, tapi sayangnya uang ini di salah artikan sama masyarakat dengan menggunakannya untuk membeli sembako, membeli kacamata, membeli rokok, membeli kopi dan sebagainya, jadinya niat baik pemerintah itu meleset dari perkiraan, secara pribadi, saya tidak suka BLSM ini, karena ini sama saja dengan menyuruh orang untuk malas bekerja, sedikit-sedikit pemerintah, tidak dapat kerja menyalahkan pemerintah, kena PHK menyalahkan pemerintah, dan seterusnya, orang Indonesia jadi tidak punya motivasi diri untuk memperbaiki hidup mereka dan terlalu bergantung sama bantuan.
Untuk orang-orang yang tidak mendapatkan jatah BLSM, sebenarnya kita tidak bisa salahkan pihak-pihak tertentu, karena BLSM ini adalah uang rakyat otomatis kita semua bertanggung jawab terhadap kelancaran distribusinya, kalau kita tahu orang yang menerima BLSM itu salah sasaran, jangan diam saja, laporkan ke pihak yang terkait, dan ada orang yang miskin tapi tidak dapat kupon kita juga jangan diam saja, ajukan mereka kepada Pak Lurah setempat agar diurus secepatnya, semua ini tetap bergantung kepada kepedulian kita semua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar