MAKALAH
“Pendapat Tentang BLSM”

Nama
Kelompok :
1.
Yulianto
2.
Budianto
3.
Adi
4.
Ali
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2012/2013
Latar Belakang
Sebagai akibat dari kenaikan harga BBM, maka
pemerintah mengadakan 2 bantuan untuk rakyat Indonesia, yaitu Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat dan Bantuan Siswa Miskin. Pemerintah Indonesia
meyakini tindakan ini adalah penting untuk menyelamatkan fiskal negara,
meskipun pemerintah juga meyakini bahwa ini adalah keputusan yang sulit bagi
pemerintah. Dalam rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar
DPR), telah disepakati total dana ganti rugi kenaikan BBM bersubsidi sebesar
27,9 triliun rupiah. Walaupun begitu, BLSM sering disebut masyarakat
sebagai kelanjutan dari Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Kelanjutan dari Bantuan Langsung Tunai
Data BLSM yang tidak tepat sasaran dan tidak valid
membuat BLSM seperti merupakan kelanjutan dari BLT.
Cara mendapatkan bantuan
Cara
untuk mendapatkan bantuan ini adalah sebagai berikut:
1. Terdaftar di Badan Pusat Statistik sebagai orang
yang tidak mampu.
2. Setelah terdaftar, Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
dibagikan melalui Pos Indonesia.
3. Bila telah menerima KPS, maka pada tanggal 1 Juli 2013 anda pergi
ke Kantor pos yang
ditunjuk.
4. Kemudian, anda mengantre untuk selanjutnya mendapatkan
kartu antrean. Bawalah Kartu Perlindungan Sosial sebagai buktinya.
5. Seusai mendapatkan kartu antrian, masyarakat menunggu
kembali untuk dilakukan verifikasi.
6. Setelah lolos verifikasi untuk KPS, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kartu
normatif, masyarakat baru berhak menerima Bantuan BLSM yang diberikan
pemerintah sebesar Rp. 300.000.
Permasalahan
Yang Menerima Bantuan
Dalam pelaksanaannya, eksekusi daripada BLSM ini
menghadapi banyak masalah. Contoh masalahnya adalah banyak warga miskin yang
tidak mendapatkan bantuan tunai. Beberapa warga yang seharusnya tidak mendapatkan
bantuan ini, seperti orang yang telah meninggal. Beberapa kalangan juga menilai
BLSM ini tidak tepat, dan juga tidak merata. Gubernur
Jakarta Joko Widodo, juga menyatakan bahwa bantuan
langsung sementara masyarakat ini tidak merata, dan akan juga melakukan bantuan
tunai untuk membantu rakyat miskin.
Berikut
adalah kasus-kasus di mana bantuan BLSM salah sasaran:
·
Pada 25 Juni 2013, di
Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah,
Warkem, yang berusia 65 tahun, malah tidak menerima BLSM, padahal ia adalah
janda yang hidup sebatang kara pada rumah yang berukuran 4 x 5 meter.
·
Pada 25 Juni 2013,
di Makassar. Sulawesi
Selatan, sejumlah ibu-ibu yang menggunakan kalung, gelang, dan
giwang emas malah menerima bantuan BLSM. Tujuan ibu-ibu tersebut menerima
bantuan BLSM bukan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, namun digunakan
untuk bermewah-mewahan.
·
Pada 2 Juli 2013,
di Bandung, Jawa Barat,
Ayu, yang berusia 26 tahun, menerima bantuan BLSM, padahal ia sudah termasuk
kategori orang yang sudah mampu. Hal ini dapat dilihat dari kalung,
cincin, dan anting-anting yang membaluti tubuh Ayu. Sementara itu, Atikah,
menerima BLSM dengan tujuan membayar utang yang ditagihkan rentenir yang
dibebankan padanya.
Data yang Tidak Valid
Salah satu dari penyebab tidak sampainya bantuan yang
tepat sasaran adalah data yang tidak valid. Menurut Sekretaris Eksekutif Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), penggunaan data dari Badan Pusat Statistik yang bertahun
2011 disebabkan karena pemutakhiran dan survei membutuhkan waktu dan biaya
mahal. Selain itu pula, penggunaan data yang tidak valid membuat BLSM
seperti kelanjutan dari BLT
Keluhan, Protes dan Demonstrasi
Lemahnya pengawasan pemerintah akan bantuan BLSM
membuat sebagian warga yang berhak menerima bantuan BLSM malah tidak
mendapatkan bantuan BLSM. Sementara itu, sebagian warga yang tidak berhak
menerima bantuan BLSM malah mendapatkan bantuan BLSM. Oleh karena itu,
terjadilah protes dan demonstrasi yang disebabkan oleh bantuan BLSM yang tidak
tepat sasaran.
Berikut adalah protes dan demonstrasi yang terjadi
karena bantuan BLSM yang tidak tepat sasaran:
·
Pada 25 Juni 2013, di
Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah,
Kepala Desa Rempoah mengaku banyak mendapat protes dari masyarakat yang menaruh
perhatian terhadap Warkem.
·
Pada 2 Juli 2013,
di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur,
sebagian warga merasa keberatan atas jumlah uang bantuan BLSM yang seharusnya
mereka terima Rp300.000 malah dipotong sebesar Rp100.000 menjadi Rp200.000. Mbah
Parni, yang berusia 67 tahun, mengaku panitia desa memotong dana tersebut
dengan alasan akan diberikan kepada warga miskin lain yang tak terdaftar
sebagai penerima BLSM. Mbah Parni mengaku berat dengan pemotongan itu. Namun ia
terpaksa menyetujuinya, sebab, hal serupa juga dilakukan kepada seluruh warga
yang mengantre pencairan dana BLSM di kantor pos setempat.
BLSM Memicu Kecemburuan Sosial Horisontal
Beberapa kalangan masyarakat melakukan protes
bahwa telah terjadi ketidak-adilan dalam membagikan bantuan BLSM, karena
penerima bantuan tersebut sebenarnya dikategorikan tidaklah tergolong miskin
kalau dinilai dari penampilan mereka. Ada yang saat datang mengambil
bantuan BLSM tersebut tidak nampak miskin. Sementara mereka merasa lebih
miskin malah tidak menerima bantuan.
Memang perlu dipertanyakan konsep dari
penyelenggaraan bantuan tersebut. Jika dilihat dari proses
pelaksanaannya, apa yang diprogramkan pemerintah tersebut terkesan dilakukan
tambal sulam dan mengejar kepentingan praktis jangka pendek.
Sosial Security
Perlindungan sosial bagi masyarakat tidak mampu
memang amat penting dan punya nilai strategis dalam mengangkat
kemiskinan. Perlindungan sosial memungkinkan masyarakat miskin untuk
memperbaiki dirinya dan keluarganya tanpa dibebani pembiayaan-pembiayaan utama
dalam rumah tangga.
Di luar negeri, perlindungan sosial diberikan
pada masyarakat kurang mampu yang mencakup dalam bidang utama diantaranya
adalah kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua, cacat. Golongan masyarakat
penerima bantuan pemerintah adalah mereka-mereka yang kehilangan pekerjaan
(penganggur), dalam usia pensiun, menderita cacat sehingga tidak mungkin
mendapatkan penghasilan. Penderita cacat juga termasuk cacat mental.
Meski keadaan fisik seseorang nampak sehat, namun karena masalah psikologis
orang tersebut tidak mungkin bisa bekerja, juga mendapat santunan dari
pemerintah. Dana perlindungan sosial tersebut didapat dari pajak yang
didapat dari masyarakat terutama yang masih aktif dalam lapangan pekerjaan.
Masalah perlindungan sosial ini makin tahun makin
dirasa berat oleh pemerintah. Jumlah angkatan kerja makin menurun, sementara
jumlah penerima santunan sosial makin besar. Efek ini makin dirasakan terutama
di negara-negara dengan piramida tua pada saat generasi baby boomer mengalami
pensiun. Dana yang didapat dari pajak tidak akan lagi mencukupi untuk menutup
dana sosial tersebut.
Di Amerika diperkirakan dana yang ada hanya cukup
membayar 75% saja dari total dana perlindungan sosial pada tahun 2033 nanti.
Pemerintah akan mengalami kesukaran untuk menutup kekurangan 25% jika tidak
diantisipasi langkah-langkahnya. Di Amerika pada bulan akhir Juni 2011,
tercatat sebanyak 54,8 juta orang penerima dana sosial ini atau 17,56% dari
total populasi AS.
Di negara yang mengetrapkan sistem perlindungan
sosial, data-data penduduk mereka relatif lengkap. Setiap orang mempunyai
nomer pajak pribadi yang berlaku seumur hidup. Jumlah penghasilan tiap individu
akan tercatat dengan baik oleh dinas pajak. Setiap pekerja baru sebelum
memulai lapangan kerjanya diwajibkan untuk mengisi formulir data-data pribadi
yang berkaitan dengan pajak. Tanpa nomer pajak, pembayaran gaji akan
tertunda pembayarannya. Dengan pengawasan nomer pajak sejak dini ini, maka
penghasilan seseorang terdata dan termonitor dengan baik.
Penerima santunan sosial tersebut amat beragam
keadaan keluarganya. Ada yang cuma satu sumber penghasilan (suami atau
isteri saja bekerja). Hidup sendiri. Hidup sendiri tapi merawat orang cacat dan
lain-lain keadaan. Mereka harus datang ke kantor departemen sosial
setempat dan diwawancarai. Jadi masing-masing orang akan dinilai kasus,
keberadaan ekonomi dan situasinya sehingga menerima santunan sosial dengan
jumlah yang tepat.
Pembenahan Sistem
Data-data masyarakat yang berhak menerima bantuan
sosial tersebut dipertanyakan banyak kalangan perihal keakuratannya bila
dilihat banyaknya keluhan masyarakat yang merasa tergolong miskin tapi tidak
menerima bantuan.
Aneh sekali jika data yang dipakai dari sensus
tahun 2011, begitu asumsi beberapa kalangan. Jika sumber data yang dipakai
tidak akurat, mustahil jika bantuan tersebut bisa tepat sasaran.
Di Indonesia penghasilan tetap seseorang belum
bisa dipakai sebagai pedoman. Darimanakah angka penghasilan tetap
tersebut diperoleh jika tidak ada sistem baku yang bisa untuk memonitor? Masyarakat
yang bekerja di sektor informal atau di industri menengah bawah, lebih banyak
menerima penghasilan tersebut secara langsung dan tidak ditransfer lewat bank
sehingga lolos dari catatan pajak penghasilan. Bila penghasilan tetap semacam
ini dijadikan patokan pastilah tidak akan akurat.
Sebagaimana kita ketahui, gaji pokok selalu
menunjukkan angka kecil dibanding dengan pendapatan yang didapat dari kerja
sampingan. Misalnya guru dengan usaha sampingan usaha les. Pekerja
toko sambil kerja sampingan jualan pulsa. Dan kasus-kasus lain.
Penerimaan pendapat total tiap bulan cenderung lebih besar dari angka
sesungguhnya.
Bahkan seorang yang tidak punya pekerjaan tetap
bukan berarti tidak punya penghasilan. Misalnya sopir tidak tetap,
makelar, pembantu rumah tangga, petani, buruh lepas, wiraswasta, industri rumah
tangga dan sebagainya. Bagaimana menentukan secara pasti penghasilan
mereka tiap bulan atau tahunnya jika tidak ada mekanisme untuk
memonitornya? Data-data penghasilan mereka diperoleh dengan mengandalkan
tenaga kelurahan lebih banyak berdasar pada perkiraan. Pengumpulan data
demikian rawan oleh pembiasan dan korupsi.
Jika penghasilan tetap dipakai sebagai ukuran,
bagaimana mungkin seorang guru honorer SD dalam sebulannya hanya menerima Rp.
200 ribu bisa mencukupi hidupnya selama sebulan? Atau gaji pegawai negeri
golongan 3A yang menerima Rp3 juta sebulan dan hidup di kota besar? Bagaimana
mungkin mereka bisa punya rumah, mobil, sepeda motor dan perabotan lain rumah
tangganya?
Data-data penghasilan seseorang amat tidak
realistis di Indonesia. Maka sebelum pemerintah bisa dengan baik
membenahi sistem, pembagian BLSM tersebut terkesan dipaksakan dan tidak
sepenuhnya bisa dipertanggung-jawabkan akuntabilitasnya. Apalagi efektif
berfungsi sebagai pelindung sosial atau jaminan sosial atau keamanan sosial
atau apapun namanya sebagaimana yang dicanangkan dalam program dalam BLSM itu.
Jika birokrasi tidak dibenahi sistem dan budaya
kerjanya, bagaimanapun nampaknya akurasi data masih bisa dipertanyakan keasliannya.
Jika sistem kerja birokrasinya morat-marit dan
masih perlu dibenahi, anehlah jika pemerintah mendasarkan datanya dari hasil
kerja para birokrat yang mental budaya kerjanya masih dipertanyakan tersebut.
Sebuah tata kerja seperti tanpa konsep memadai.
Kecemburuan Sosial Horisontal
Kenapa BLSM baru dicanangkan tahun ini? Kenapa
tidak tahun-tahun sebelumnya pada saat resesi ekonomi melanda Indonesia tahun
1997 lalu? Meski negara mengalami krisis ekonomi, masyarakat telah
menemukan caranya sendiri untuk mengatasi keadaan ekonominya. Masyarakat
tidak merasakan peranan pemerintah dalam membantu masyarakat mengatasi
masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi. Tidak ada ketergantungan masyarakat
pada pemerintah selama ini.
Pemerintah telah mengasingkan dirinya sendiri
dari masyarakat. Masyarakat miskin tetap bisa hidup atau dipaksa untuk bertahan
hidup tanpa bantuan langsung pemerintah. Masyarakat miskin telah membuktikan
diri mereka sendiri, bahwa mereka bisa hidup dalam krisis ekonomi tanpa peranan
langsung dari pemerintah.
Maka urgensi pemberian BLSM saat ini wajarlah
jika mendapat pertanyaan besar dari beberapa kalangan. Jika kenaikan BBM
dipakai alasan, kenapa kenaikan harga BBM sebelumnya tidak dilakukan hal
sama? Benarkah masalah sosial ekonomi ini berusaha diselesaikan dengan
keputusan politik?
Masyarakat miskin yang telah terbiasa untuk
bertahan hidup tanpa bantuan pemerintah, tiba-tiba kini mendapat tunjangan.
Fenomena baru ini secara tidak langsung mencuatkan keberadaan kemiskinan
mereka. Di sisi lain mereka juga mengamati bahwa apa yang dianggap miskin
ternyata relatif. Seorang yang punya mobil dan sepeda motor bisa dianggap
miskin oleh pemerintah sehingga perlu menerima BLSM. Kemiskinan yang mereka
bayangkan ternyata jauh berbeda. Ternyata mereka jauh dari sekedar miskin
tapi super melarat jika dibanding dengan standard yang ditetapkan pemerintah.
Bagi mereka yang tidak menyadari atau tidak
pernah mengeluh bahwa mereka miskin, kini dipaksa untuk menilai kembali keadaan
mereka. Orang yang dianggapnya hidup berkecukupan karena punya mobil dan sepeda
motor ternyata juga termasuk golongan mereka, yakni golongan miskin. Jika
keduanya menerima BLSM mungkin tidak seberapa, tapi banyak juga masyarakat
miskin tersebut tidak menerima BLSM yang dibagikan pemerintah dan yang menerima
justru orang-orang yang dianggap hidupnya berkecukupan tersebut.
Beberapa orang miskin masih punya harga diri dan
pantang untuk mengemis. Mereka enggan untuk merengek-rengek pada
pemerintah tentang jatah BLSM tersebut. Mereka menerima keadaan mereka
dan tetap hidup seperti biasanya dengan mensiasati keadaan sekitarnya karena
kenaikan harga. Mereka sudah terbiasa menghadapi masa-masa sulit
demikian. Masyarakat kelas bawah sudah terbiasa hidup mandiri sejak jaman
Belanda hingga jaman reformasi kini. Mereka tidak melihat bahwa kemiskinan
mereka adalah akibat struktur sosial yang membelenggunya atau tidak becusnya
pemerintah mengelola negara. Mereka tidak menyalahkan siapa-siapa. Tanpa banyak
protes mereka jalani hidup apa adanya.
Namun banyak pula golongan masyarakat miskin yang
tidak bisa menerima begitu saja atas ketidak-adilan yang diterimanya. Mereka
inilah yang mendatangi kelurahan untuk protes. Mereka inilah yang
merasakan kecemburuan sosial bersifat horisontal.
Belum lagi jika mereka melihat ada keluarga
rame-rame datang ikut mengambil bantuan karena punya posisi tertentu di desa
meskipun mereka relatif kaya. Tidak beda jauh dengan pemandangan saat
pembagian daging korban di desa. Keluarga pengurus yakni anak, isteri,
menantu, cucu dan lain-lainnya, datang berduyun-duyun minta bagian.
Sementara masyarakat yang benar-benar berhak malah dinomer-duakan.
Orang miskin selalu berada di pinggiran.
Mereka tidak terjangkau oleh informasi apalagi birokrasi pemerintah yang
terkesan arogan. Masyarakat miskin tersebut hidup dari sisa-sisa hidup
orang lain. Mereka mengais rejeki dari ceceran orang lain. Mereka dianggap
bakteri dan bisa hidup di manapun dan dalam keadaan apapun. Pemulung, pembersih
sampah, abang becak, tukang pijit, buruh tani, pencari puntung rokok, pengemis
dan lain-lain, mereka semua itu jauh dari lingkaran jangkauan birokrasi yang
sibuk mengurus perutnya sendiri.
Para priyayi dan pangreh praja tidak bakal bisa
menyelami dunia kehidupan mereka. Mereka harus blusukan agar tahu lebih dekat
keadaan dan masalah kaum miskin pinggiran. Tanpa itu, semua hitungan masih di
atas kertas yang gampang ditindih dan di tip x untuk kemudian disesuaikan
dengan keinginan pribadinya sebagai pemegang kendali informasi.*** (HBS)
Pendapat
Tentang BLSM
Sebenarnya waktu namanya masih BLT dulu ini sudah
dibahas, maksud dari Pak SBY mengasih bantuan tunai atau BLSM ini adalah begini, karena harga BBM
naik, otomatis harga lain juga ikutan meningkat kan? Nah, supaya mengimbangi
harga yang ikutan naik dengan daya beli masyarakat diberikanlah BLSM ini, supaya
orang-orang kecil dapat modal untuk jualan gorengan lah, bikin kerajinan lah,
jualan baju lah, dan sebagainya.
Niatnya Pak SBY sudah bener, tapi sayangnya uang ini
di salah artikan sama masyarakat dengan menggunakannya untuk membeli sembako, membeli
kacamata, membeli rokok, membeli kopi dan sebagainya, jadinya niat baik
pemerintah itu meleset dari perkiraan,
secara pribadi, saya tidak suka BLSM ini, karena
ini sama saja dengan menyuruh orang untuk malas bekerja, sedikit-sedikit
pemerintah, tidak dapat kerja menyalahkan pemerintah, kena PHK menyalahkan
pemerintah, dan seterusnya, orang Indonesia jadi tidak punya motivasi diri
untuk memperbaiki hidup mereka dan terlalu bergantung sama bantuan.
Untuk orang-orang yang tidak mendapatkan jatah BLSM,
sebenarnya kita tidak bisa salahkan pihak-pihak tertentu, karena BLSM ini
adalah uang rakyat otomatis kita semua bertanggung jawab terhadap kelancaran
distribusinya, kalau kita tahu orang yang menerima BLSM itu salah sasaran,
jangan diam saja, laporkan ke pihak yang terkait, dan ada orang yang miskin
tapi tidak dapat kupon kita juga jangan diam saja, ajukan mereka kepada Pak
Lurah setempat agar diurus secepatnya, semua ini tetap bergantung kepada
kepedulian kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar